Sabtu, 22 September 2012

Haruskah se-PERFECT itu?


Barusan punya waktu lebih buat ngobrol dengan sahabat lama. Kejadian tersebut tidak disengaja untuk menjadi ajang curhat, tapi semua terjadi karena kebetulan saja. Dan saya dengan temen cowo tersebut tidak ngobrol berdua, melainkan bicara ditengah keributan. Hahaha.

Jadi ceritanya kita menghadiri wisuda temen SMA. Nah, ini kejadiannya harus diabadikan, karena mereka berdualah orang yang pertama yang wisuda di kelas kami. Awalnya aq mau pergi ama temen cewe, tapi kebetulan lagi dinas, jadinya ya aq duluan. Pergi dengan Qed, sobat karibku yang sampai saat ini juga satu fakultas. Karena g punya kendaraan, kami pergi ke tempat yang lumayan jauh dari kos, kira-kira setengah jam lebih bila menggunakan angkot. Nah, dalam perjalanan itulah semua perbincangan terjadi. 

Banyak hal yang aq sadari saat kembali berbincang dengannya-lelaki lugu polos yang aku kenal dahulu. Sekarang aku sadar dia punya pacar, sekarang aku sadar betapa dekatnya mereka, sekarang aku sadar betapa "baik"nya cewe tersebut di mata Ari, dan sekarang aku sadar dia udah bukan Qed yang aku kenal lagi.

Ya, aku tak menyalahkan kedewasaan yang membuat seseorang berubah, aku tak menyalahkan lingkungan kalau seseorang berubah, dan aku tak pernah menyalahkan apapun atas berubahnya teman dekatku tersebut. Karena aku tau, seberapa berat dewasa itu, seberapa berat perbedaan lingkungan itu, kalau pribadinya yang g mau berubah, pasti tak akan berubah juga.

Qed cerita betapa rajinnya cewe tersebut padaku, juga cerita betapa lucu dan menariknya dia, juga bercerita betapa mandirinya dia, dan bercerita betapa pintarnya dia memasak, bikin kue, dll. Saat itu aku menyadari kalau aku tak ada apa-apanya sebagai seorang wanita. Aku cuma bisa makan tanpa bisa memasak, aq cuma bisa duduk-duduk tanpa bisa melakukan apapun. Aku sadar aku tidak mandiri. Dan apapun yang disebutnya seolah menjadi suatu tamparan sendiri padaku.

Apa masih ada seseorang yang menerima orang yang g bisa masak sebagai isrti?
Apa masih ada orang yang mau menerima seseorang yang g mandiri sebagai pendamping hidup?
Apa masih ada yang mau menerima cewe yang tidak bisa apa-apa dalam urusan rumah tangga seperti aku sebagai teman sampai akhir hayatnya?

Entahlah, terkadang aku sudah belajar, tapi gegara g ada waktu malah lupa lagi cara masaknya
Kalau kemandirian, setidaknya aku tidak terlalu manja, standar saja.

Ta-tapiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii

Ah, semua berkecamuk. Intinya aq g suka aja cewe itu. Oh, ya, Mungkin gegara belom kenal. Ok, fine. Lapangkan dada. Lagian, Qed itu bukan siapa2 saya. So, what?

Menulis acak-acakan seperti ini sedikit melegakan dari pada harus treak pake toa kalo aku sedih, No one know. I'll keep this secret.

Kedepannya, aku harus menjadi 'cewe' yang lebih 'pintar', 'rajin', dan 'hebat'.

0 komentar:

Posting Komentar